Tak Hanya Gratifikasi, Mbak Ita Diduga Cegah Saksi Datang ke KPK, Ini Bocorannya!


Queennews.id – Persidangan kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu atau akrab disapa Mbak Ita, bersama suaminya, Alwin Basri, kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang pada Senin, 28 April 2025.
Memasuki sidang kedua, agenda utama kali ini adalah mendengarkan keterangan tiga saksi kunci yang merupakan mantan camat di Kota Semarang, yakni Eko Yuniarto, Suroto, dan Ronny Cahyo Nugroho.
Dalam kesaksiannya, Eko Yuniarto yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Paguyuban Camat Kota Semarang mengungkap fakta mengejutkan. Ia mengatakan bahwa dirinya sempat dilarang menghadiri pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas arahan langsung dari Mbak Ita.
“Saat itu, kami diminta Bu Ita untuk tidak menghadiri pemeriksaan BPK. Beliau menyampaikan, ‘Tenang mas, sudah dikondisikan, nggak usah datang dulu,’” ujar Eko di hadapan Majelis Hakim.

Tak hanya sendiri, Eko juga menyebutkan bahwa dalam pertemuan tersebut hadir beberapa pejabat lainnya, yakni Susi Herawati selaku Direktur Utama RSUD Wongsonegoro Semarang dan Binawan Febrianto, Kepala Bidang Pendataan dan Pendaftaran Bapenda Kota Semarang. Mereka diminta berkumpul di ruang kerja Wali Kota.
“Kami dipanggil ke ruang Bu Wali. Ditanya, ada dawuh (perintah) apa? Jawabnya, yang penting hadir saja dulu,” ungkap Eko.
Kasus ini menyeret nama Mbak Ita dan suaminya setelah keduanya diduga melakukan berbagai tindak pidana korupsi, mulai dari penerimaan gratifikasi proyek di 16 kecamatan senilai Rp2,24 miliar, korupsi pengadaan barang dan jasa sebesar Rp3,75 miliar, hingga pemotongan insentif pegawai senilai Rp3 miliar. Total kerugian negara yang ditimbulkan diperkirakan mencapai Rp9 miliar.
Atas perbuatannya, pasangan ini dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11, serta Pasal 12 huruf f dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Sidang ini makin menyorot perhatian publik karena memperlihatkan dugaan adanya upaya sistematis untuk menghalangi proses hukum.
