Mengapa Dokter Kandungan Justru Didominasi Laki-Laki? Menguak Realitas di Balik Profesi yang Dekat dengan Perempuan


QueenNews.id – Kasus dugaan pelecehan seksual oleh seorang dokter kandungan laki-laki terhadap pasien ibu hamil kembali menggugah perbincangan publik.
Bukan hanya soal etika profesi, namun juga menyentil realitas yang lebih dalam: mengapa profesi dokter spesialis obstetri dan ginekologi yang notabene sangat lekat dengan tubuh dan pengalaman perempuan masih didominasi oleh laki-laki?
Pertanyaan ini tak sekadar soal stereotip atau preferensi pasien, tetapi juga menyingkap persoalan struktural, budaya dan sejarah panjang dalam dunia kedokteran yang turut membentuk dinamika profesi tersebut hingga hari ini demikian dilansir redaksi queennews.id dari berbagai sumber.
Dominasi Laki-Laki dalam Dunia Obgyn: Fakta dan Angka
Berdasarkan data dari Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), jumlah dokter spesialis obgyn di tanah air mencapai sekitar 5.270 orang.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.460 orang atau hampir dua pertiganya adalah dokter laki-laki. Sementara dokter perempuan hanya berjumlah 1.810 orang.
Fenomena serupa juga terjadi di banyak negara lain. Di Inggris, misalnya, statistik dari Royal College of Obstetricians and Gynaecologists mencerminkan kecenderungan serupa. Meski jumlah mahasiswi kedokteran terus meningkat, namun ketika memasuki tahap spesialisasi, laki-laki masih mendominasi bidang ginekologi.
Padahal, jika dilihat dari sisi pasien, banyak perempuan menyatakan lebih nyaman ditangani oleh dokter kandungan perempuan, terutama ketika menyangkut pemeriksaan yang bersifat intim.
Faktor Historis dan Budaya: Profesi yang Lama Didominasi Laki-Laki
Secara historis, dunia kedokteran seperti halnya banyak profesi lain berakar pada sistem yang patriarkis. Sejak dulu, laki-laki lebih difasilitasi untuk menempuh pendidikan tinggi dan meniti karier profesional.
Ini menjadikan profesi seperti dokter, termasuk dokter kandungan, sebagai wilayah yang lama didominasi oleh laki-laki.
Dominasi ini terus bertahan karena terciptanya kultur dan infrastruktur yang tidak sepenuhnya inklusif bagi perempuan. Bahkan, dalam praktik sehari-hari, banyak alat-alat medis dirancang dengan mengacu pada anatomi dan kekuatan tangan laki-laki.
Dr. Anita Mitra, seorang ginekolog perempuan asal Inggris yang dikutip dari Huffington Post, menyoroti hal tersebut dengan gamblang. Ia mengungkap bahwa sebagian besar instrumen bedah di bidang kandungan dan ginekologi memiliki ukuran gagang yang besar, sehingga lebih cocok untuk tangan laki-laki.
“Sayangnya, hanya sedikit produsen alat kesehatan yang memproduksi versi yang lebih kecil dan ergonomis untuk dokter perempuan,” ujar Mitra.

Tantangan Pilihan Spesialisasi: Antara Kebidanan dan Ginekologi
Faktor lain yang turut menyumbang ketimpangan ini adalah tren pemilihan spesialisasi pasca pendidikan kedokteran. Umumnya, perempuan cenderung memilih spesialisasi kebidanan yang berfokus pada proses kehamilan, persalinan, dan pasca-melahirkan, sementara laki-laki lebih banyak mengambil spesialisasi ginekologi yang juga mencakup operasi dan penanganan penyakit sistem reproduksi wanita.
Dari sini terlihat bahwa pembagian peran masih terbentuk secara sosial dan tidak selalu berdasarkan minat atau bakat, melainkan juga dipengaruhi oleh persepsi dan tekanan lingkungan profesional.
Nyaman dengan Pasien Perempuan: Perspektif Dokter Laki-Laki
Aspek psikologis juga turut berperan. Sebuah laporan dari The Cut menyebut bahwa banyak dokter laki-laki merasa nyaman dalam merawat pasien perempuan, karena pasien perempuan cenderung lebih terbuka membicarakan kondisi kesehatannya dan memiliki kesadaran yang tinggi terhadap pentingnya menjaga kesehatan reproduksi.
Hal ini membuat interaksi antara dokter dan pasien lebih lancar, yang pada akhirnya menciptakan lingkungan kerja yang dianggap “nyaman” dan “menarik” bagi dokter laki-laki di bidang ini.
Di sisi lain, perkembangan ilmu dan teknologi medis yang pesat, terutama dalam layanan kesehatan reproduksi seperti terapi kesuburan, program bayi tabung, hingga pengobatan kanker serviks dan ovarium, turut menjadi daya tarik besar bagi para dokter, terlepas dari gender.
Perubahan Sedang Terjadi, Tapi Masih Lambat
Meski ketimpangan masih ada, dalam beberapa tahun terakhir telah terlihat adanya pergeseran. Semakin banyak dokter perempuan yang tertarik dan memilih untuk menekuni spesialisasi obstetri dan ginekologi. Institusi pendidikan kedokteran serta rumah sakit pun mulai berbenah dengan menyediakan alat medis yang lebih inklusif dan ramah gender.
Kampanye kesetaraan dalam dunia medis, dukungan terhadap perempuan dalam pendidikan tinggi, dan pelatihan berbasis gender equality juga turut mendorong peningkatan jumlah dokter kandungan perempuan.
Meski jalan masih panjang, ada harapan bahwa keseimbangan ini akan terus meningkat. Sebab pada akhirnya, yang dibutuhkan oleh pasien adalah pelayanan kesehatan yang profesional, berempati, dan menjunjung tinggi etika—baik itu dari dokter laki-laki maupun perempuan.
Namun tetap, kasus pelecehan seksual oleh tenaga medis menjadi pengingat penting bahwa selain kompetensi, integritas dan penghormatan terhadap hak pasien adalah fondasi yang tak boleh ditawar dalam layanan kesehatan.
