Warisan Budaya Minangkabau Melesat: Saluang, Karupuak Sanjai, dan Rajutan Banang Sahalai Resmi Diakui Negara


Bukittinggi, Queennews.id – Upaya pelestarian budaya lokal di Indonesia kembali menunjukkan capaian signifikan. Kali ini, tiga unsur budaya khas Minangkabau resmi tercatat dan dilindungi sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) oleh negara.
Pengakuan ini diberikan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI), menandai tonggak penting dalam menjaga jati diri budaya Nusantara di tengah arus globalisasi.
Momentum bersejarah ini terjadi pada Rabu, 30 April 2025, di Balai Kota Bukittinggi. Dalam acara tersebut, Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Ir. Razilu, M.Si., CGCAE, menyerahkan secara simbolis sertifikat perlindungan hukum kepada Pemerintah Kota Bukittinggi.
Tiga unsur budaya yang mendapat pengakuan adalah alat musik Saluang, kuliner khas Karupuak Sanjai, dan kerajinan tangan Rajutan Banang Sahalai.
Dalam sambutannya, Razilu menegaskan bahwa pemberian status hukum kepada kekayaan budaya bukan sekadar formalitas, melainkan langkah konkret untuk memberikan perlindungan terhadap warisan lokal dari klaim, eksploitasi, hingga penjiplakan oleh pihak luar.
“Kita tidak ingin budaya kita hanya menjadi cerita turun-temurun. Budaya harus kita lindungi dan dorong sebagai bagian dari kekuatan ekonomi nasional,” tegasnya.
Saluang, alat musik tradisional Minangkabau yang terbuat dari bambu tipis, dikenal luas karena suaranya yang syahdu dan filosofi dalam syair yang dibawakan.
Saluang bukan sekadar hiburan, melainkan cermin dari kearifan lokal masyarakat Minang dalam menyampaikan nilai, kritik sosial, dan rasa cinta dalam bentuk musikal.
Karupuak Sanjai, kerupuk renyah berbahan dasar singkong yang digoreng kering dan dibumbui balado, menjadi ikon kuliner Bukittinggi. Kini, produk tersebut telah resmi menyandang status indikasi geografis.

Status ini menjamin bahwa hanya produk yang diproduksi dengan teknik asli di daerah asalnya yang boleh menggunakan nama “Karupuak Sanjai”. Perlindungan ini sangat penting mengingat potensi ekonominya yang tinggi sebagai oleh-oleh khas dan produk ekspor.
Sementara itu, Rajutan Banang Sahalai, karya komunitas perajin lokal yang diwariskan turun-temurun, menunjukkan keuletan dan estetika khas Minangkabau dalam kerajinan tangan.
Dengan diakuinya rajutan ini sebagai bagian dari Kekayaan Intelektual Komunal, para perajin kini memiliki dasar hukum untuk mempertahankan orisinalitas dan nilai ekonomi dari karya mereka.
Wali Kota Bukittinggi, H.M. Ramlan Nurmatias, menyampaikan apresiasi dan komitmennya untuk terus mendorong pengakuan terhadap kekayaan budaya lainnya di wilayahnya. “Bukittinggi memiliki segudang warisan budaya. Ini baru permulaan.
Kami akan lanjutkan dengan pengajuan KIK lainnya agar kekayaan lokal kita terlindungi secara menyeluruh,” ujarnya.
Wakil Wali Kota, Ibnu Aziz, S.TP, menambahkan bahwa pemerintah daerah akan melibatkan semua perangkat, termasuk pelaku UMKM dan komunitas budaya, untuk mendapatkan pembinaan, pelatihan, hingga pendampingan hukum.
Di luar Bukittinggi, beberapa daerah di Sumatera Barat pun tengah mengajukan unsur budaya mereka untuk mendapatkan pengakuan serupa.
Kota Payakumbuh sedang memproses pengakuan terhadap Rendang, Kabupaten Solok mengajukan Bareh Solok, sementara Gambir dari Lima Puluh Kota dan Songket Pandai Sikek dari Tanah Datar juga masuk radar nasional sebagai potensi KIK unggulan.
Program Kekayaan Intelektual Komunal menjadi bukti bahwa budaya tidak lagi hanya untuk dikenang, tapi harus dijaga, dimanfaatkan, dan dijadikan pilar pembangunan berbasis identitas lokal.
Pengakuan ini membuka pintu bagi budaya untuk naik kelas — dari simbol tradisi menjadi sumber kesejahteraan masyarakat.
“Dengan perlindungan hukum ini, budaya bukan hanya milik masa lalu, tapi juga bagian dari masa depan bangsa,” tutup Razilu.
