Terungkap! Anak-Anak Ini Hidup Puluhan Tahun di Sirkus Tanpa Identitas dan Gaji


Queennews.id – Di balik sorak sorai penonton yang menikmati atraksi spektakuler sirkus, tersimpan kisah pilu yang baru-baru ini mencuat ke permukaan. Sejumlah anak-anak mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI), yang pernah tampil dalam pertunjukan di Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor, diduga telah mengalami pelanggaran serius terhadap hak-hak dasar mereka sebagai manusia.
Kasus ini menjadi sorotan nasional setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membeberkan temuan awal dugaan eksploitasi yang berlangsung dalam kurun waktu panjang, sejak tahun 1997. Para korban yang kini telah beranjak dewasa mengungkap bahwa mereka hidup dan bekerja dalam lingkungan yang mengekang, tanpa akses layak terhadap pendidikan, perlindungan hukum, maupun kejelasan identitas diri.
Dipisahkan dari Identitas dan Masa Depan
Dalam pernyataan resminya, Komnas HAM menyebut banyak dari anak-anak ini tidak mengetahui siapa orang tua kandung mereka. Mereka diambil dari panti asuhan sejak usia dini dan langsung dilibatkan dalam kegiatan sirkus, tanpa diberi pilihan lain dalam hidup mereka. Sejak kecil, mereka harus menjalani pelatihan fisik yang berat, tampil di depan ribuan penonton, dan mengikuti jadwal yang padat — namun tanpa digaji secara formal, tanpa pendidikan, dan tanpa kehidupan yang layak seperti anak-anak pada umumnya.
“Selama bertahun-tahun, mereka tidak mendapatkan hak dasar sebagai manusia, terutama sebagai anak-anak yang seharusnya berada di sekolah dan tumbuh dalam lingkungan yang aman serta penuh kasih,” ujar salah satu komisioner Komnas HAM.
Pihak Taman Safari Membantah Keterlibatan Langsung

Terkait tuduhan tersebut, pihak manajemen Taman Safari Indonesia menyampaikan klarifikasi. Mereka menegaskan bahwa TSI tidak memiliki hubungan hukum atau kontrak kerja langsung dengan Oriental Circus Indonesia, melainkan hanya sebagai penyedia tempat pertunjukan. “Kami hanya menyewakan lokasi, tidak memiliki tanggung jawab atas perekrutan atau pengelolaan personel sirkus,” ujar perwakilan TSI dalam konferensi pers.
Namun, bantahan itu tak sepenuhnya meredam reaksi publik. Banyak pihak menilai bahwa perusahaan sebesar TSI seharusnya memiliki tanggung jawab moral terhadap siapapun yang tampil di bawah nama mereka, terlebih jika melibatkan anak-anak.
Respons dari Tokoh Internal dan Pemerintah
Tony Sumampouw, salah satu komisaris Taman Safari Indonesia sekaligus pelatih satwa di OCI, juga angkat suara. Ia membantah adanya praktik kekerasan maupun eksploitasi. Menurutnya, anak-anak tersebut telah dianggap sebagai bagian dari keluarga besar sirkus dan diberi uang saku meskipun tidak mendapatkan gaji formal. Namun, pernyataan ini memicu kritik karena dianggap tidak menghapus fakta bahwa mereka tetap kehilangan akses terhadap hak-hak dasar mereka.
Kementerian Hukum dan HAM telah memanggil sejumlah pihak untuk dimintai klarifikasi dan menjajaki langkah hukum. Termasuk di antaranya adalah upaya pemulihan psikologis dan sosial bagi para korban yang kini masih menyimpan luka masa kecil yang dalam.
Panggilan Keadilan dan Reformasi
Kasus ini membuka kembali diskusi publik soal pentingnya perlindungan anak dalam industri hiburan dan pertunjukan di Indonesia. Pakar hukum dan aktivis hak anak menilai bahwa negara perlu hadir lebih aktif dalam mengawasi praktik semacam ini, dan tidak membiarkan celah hukum membuat anak-anak kehilangan masa depannya.
Hingga kini, proses investigasi masih berlangsung dan Komnas HAM terus mengumpulkan data tambahan untuk memperkuat laporan resmi yang akan diajukan ke lembaga berwenang.
