“Etika Public Relation: Pilar Profesionalisme dan Kepercayaan Publik”:

Oleh: Putri Henidar

Queennews.id – Dalam dunia kehumasan atau public relations (PR), etika bukan sekadar pelengkap atau hiasan moral yang bersifat opsional. Ia adalah fondasi yang menentukan apakah komunikasi sebuah lembaga akan dihargai publik atau justru diragukan. Citra organisasi sangat bergantung pada integritas komunikasi yang dijalankan oleh para praktisi PR, terutama di era digital saat ini, ketika informasi menyebar begitu cepat dan mudah diakses oleh siapa saja.

Menurut Frank Jefkins dalam (Ulfa et al., 2024) menyatakan bahwa public relations mencakup semua jenis komunikasi yang direncanakan, baik dalam hal penerimaan maupun keluaran, yang terjadi antara sebuah organisasi dan publiknya. Tujuannya adalah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

tertentu berhubungan dengan pemahaman bersama. Public Relations adalah jenis komunikasi yang berkonsentrasi pada komunikasi organisasi. Komunikasi ini berfokus pada dua area: komunikasi internal dengan orang di dalam organisasi dan komunikasi eksternal dengan orang di luar organisasi. Tujuan utama dari aplikasi komunikasi organisasi ini adalah untuk memastikan bahwa semua orang yang memiliki kepentingan terhadap organisasi dapat memahami satu sama lain.

Kejujuran, misalnya, bukan hanya soal menyampaikan fakta, tetapi juga menghindari manipulasi informasi yang dapat menyesatkan publik. Dalam banyak kasus, kegagalan menjaga transparansi justru menjadi pemicu utama krisis reputasi yang bisa berdampak panjang bagi sebuah organisasi. Oleh karena itu, keterbukaan informasi harus disertai dengan niat baik dan pengelolaan pesan yang etis.

Tanggung jawab juga menjadi nilai krusial. Seorang humas bukan hanya bertanggung jawab pada atasan atau lembaganya, tetapi juga kepada publik yang menerima pesan. Komunikasi yang dilakukan tidak boleh melanggar etika jurnalistik, norma sosial, atau bahkan hukum yang berlaku. Setiap pesan yang disampaikan harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara substansi maupun moral.

Transparansi, sebagai bagian dari praktik etis, membantu menciptakan hubungan yang sehat antara lembaga dengan masyarakat. Hubungan yang dibangun atas dasar kepercayaan akan lebih tahan terhadap gejolak atau isu negatif. Ketika publik percaya terhadap apa yang dikatakan oleh organisasi, maka reputasi akan terjaga dan bahkan semakin kuat dari waktu ke waktu.

Kepercayaan publik adalah aset yang jauh lebih berharga dibandingkan kampanye komunikasi yang mahal sekalipun. Ini bukan sesuatu yang bisa dibeli atau dicitrakan secara instan. Ia dibangun melalui proses panjang, dengan konsistensi dalam menyampaikan informasi yang jujur dan etis. Ketika perusahaan atau lembaga memiliki reputasi sebagai pihak yang terpercaya, maka loyalitas publik pun akan mengikuti.

Membangun dan menjaga etika dalam PR juga mencerminkan profesionalisme. Profesionalisme bukan hanya terlihat dari kerapian berkas media atau keberhasilan mencetak liputan di berbagai media massa, tetapi dari cara seorang praktisi PR bersikap dan menyampaikan informasi. Etika menunjukkan bahwa lembaga memiliki integritas, bukan hanya ambisi.

Sebagai kesimpulan, praktik PR yang berlandaskan etika tidak hanya mampu menciptakan citra positif, tetapi juga membentuk fondasi komunikasi yang kuat, jujur, dan dapat dipertanggungjawabkan. Di tengah arus informasi yang kian bebas dan kompetitif, etika adalah kompas yang akan menuntun setiap organisasi pada kepercayaan publik yang sejati.