Tugu Biawak Wonosobo: Ikon Baru yang Menyita Perhatian karena Realistis dan Sarat Makna


Queennews.id – Sebuah tugu berbentuk biawak yang berdiri megah di Desa Krasak, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, mendadak menjadi buah bibir di media sosial dan dunia nyata. Monumen unik yang dibangun di tepi Jalan Nasional Ajibarang–Secang, tepat di sekitar Jembatan Krasak, ini viral karena bentuknya yang sangat realistis dan memiliki nilai filosofis yang kuat.
Dengan tinggi mencapai sekitar 4 hingga 5 meter, Tugu Biawak berhasil mencuri perhatian para pengguna jalan yang melintas. Tak sedikit dari mereka yang menghentikan kendaraannya hanya untuk mengabadikan momen bersama patung reptil besar itu. Bahkan, banyak warganet memuji detail dan ekspresi patung tersebut yang tampak hidup, dan tak kalah dengan karya seni berbiaya miliaran.
Namun, siapa sangka, karya monumental ini ternyata hanya dibangun dengan dana sekitar Rp50 juta. Biaya tersebut diperoleh dari program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau Corporate Social Responsibility (CSR) sejumlah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Wonosobo. Dana yang terbilang minim ini mampu diwujudkan menjadi tugu megah berkat kolaborasi solid antara pemuda Karang Taruna setempat dan seniman lokal.
Adalah Rejo Arianto, seorang perupa asal Desa Krasak, yang menjadi otak kreatif di balik tugu tersebut. Rejo bukan seniman sembarangan. Ia merupakan lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan telah berpengalaman dalam menciptakan karya seni berbasis realisme. Demi menghasilkan tugu yang otentik, Rejo bahkan rela memelihara biawak sungguhan untuk mempelajari anatomi, pergerakan, dan karakteristik binatang tersebut secara langsung.
Menurut Rejo, tugu ini tidak hanya berfungsi sebagai hiasan jalan atau penanda wilayah, tetapi juga memiliki pesan penting tentang pelestarian fauna lokal. Biawak, sebagai salah satu hewan yang masih banyak ditemui di wilayah Wonosobo, dinilai memiliki nilai kultural tersendiri bagi masyarakat. Ia melambangkan kekuatan, ketahanan, dan keseimbangan alam. Maka dari itu, pemilihan biawak sebagai ikon bukanlah tanpa alasan.

“Banyak yang tidak tahu bahwa biawak itu sebenarnya punya filosofi penting, terutama dalam konteks ekosistem. Kalau dulu masyarakat sering menganggap hewan ini berbahaya, saya justru ingin menunjukkan bahwa biawak adalah bagian penting dari keseimbangan alam. Kita harus belajar hidup berdampingan dengan mereka,” ujar Rejo.
Proses pembangunan tugu ini memakan waktu sekitar satu setengah bulan, dimulai dari tahap desain hingga pemasangan struktur di lokasi. Tantangan teknis dan anggaran yang terbatas tidak menyurutkan semangat tim kreatif. Justru, keterbatasan tersebut menjadi pemicu lahirnya kreativitas dan efisiensi yang maksimal.
Keberhasilan Tugu Biawak ini pun menjadi contoh nyata bagaimana kolaborasi antara komunitas, seniman, dan pemerintah dapat melahirkan karya seni yang fungsional dan bermakna. Warga setempat berharap tugu ini dapat menjadi ikon baru pariwisata Wonosobo serta inspirasi bagi daerah lain dalam menciptakan simbol-simbol kebanggaan lokal yang tidak harus mahal, tapi mampu menyentuh hati dan membangkitkan rasa ingin tahu publik.
Sejak peresmiannya, Tugu Biawak telah menjadi magnet baru bagi wisatawan maupun warganet. Banyak pengguna media sosial yang membandingkan monumen ini dengan patung-patung lain yang dibangun dengan anggaran jauh lebih besar namun hasilnya dianggap tidak sebanding.
Dengan keberhasilan ini, Wonosobo membuktikan bahwa estetika dan makna bisa berpadu dalam sebuah karya publik yang membumi. Tugu Biawak bukan sekadar patung hewan raksasa, melainkan perwujudan semangat kolektif masyarakat yang ingin membangun daerahnya dengan cara yang kreatif, efisien, dan sarat pesan lingkungan.
