Media dan Opini Publik: Siapa Sebenarnya yang Mengendalikan Pikiran Kita?


Queennews.id – Di tengah arus informasi yang tak lagi terbendung, media telah menjelma menjadi kekuatan sosial yang luar biasa dalam membentuk pola pikir masyarakat. Apa yang publik pikirkan hari ini, apa yang mereka bicarakan, bahkan bagaimana mereka menilai isu tertentu—semuanya tak lepas dari peran media sebagai penentu wacana.
Dalam lanskap komunikasi modern, opini publik tidak tercipta secara spontan. Ia dibentuk melalui proses yang kompleks, dipengaruhi oleh eksposur informasi yang terus-menerus dan narasi yang dikemas oleh media. Bukan hal berlebihan bila dikatakan bahwa media kini bukan hanya menyampaikan berita, tetapi juga membingkai realitas.
Teori Agenda Setting yang dikenalkan oleh McCombs dan Shaw pada tahun 1972 menegaskan bahwa media memiliki kekuatan untuk menentukan isu mana yang dianggap penting oleh publik. Media tidak secara langsung memberi tahu masyarakat apa yang harus mereka pikirkan, tetapi mereka sangat menentukan apa yang seharusnya menjadi perhatian masyarakat. Ini adalah bentuk kekuasaan halus yang mengarahkan fokus publik tanpa mereka sadari.
Dalam praktiknya, media memainkan peran sebagai kurator informasi. Melalui seleksi, penekanan, dan penyusunan narasi, media bisa membentuk opini kolektif yang mendukung atau menentang suatu kebijakan, tokoh, maupun peristiwa. Di sinilah pentingnya pemahaman publik terhadap mekanisme kerja media agar tidak mudah terjebak pada informasi yang bias atau manipulatif.

Namun, dalam sistem demokrasi, media idealnya menjadi pilar keempat yang menjaga keseimbangan kekuasaan—menyuarakan kepentingan rakyat, serta menjadi ruang bagi diskusi kritis dan transparansi. Sayangnya, kenyataan tak selalu demikian. Banyak media saat ini terkooptasi oleh kepentingan politik dan bisnis, sehingga independensinya dipertanyakan. Dampaknya, opini publik kerap kali dikendalikan bukan oleh kebenaran, melainkan oleh kepentingan kelompok tertentu.
Laporan Digital News Report 2023 dari Reuters Institute menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media di berbagai belahan dunia terus mengalami penurunan. Di Indonesia, gejala ini semakin terasa dengan meningkatnya kesadaran publik terhadap berita palsu, framing negatif, dan keberpihakan media tertentu.
Namun, perkembangan teknologi digital juga membuka ruang baru. Masyarakat kini tidak lagi hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen. Melalui media sosial, siapa pun bisa membentuk opini, menyebarkan narasi, dan memengaruhi orang lain. Demokratisasi informasi ini menjadi peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, suara minoritas bisa lebih terdengar; namun di sisi lain, banjir informasi dan penyebaran hoaks menjadi ancaman serius.
Dalam situasi seperti ini, literasi media menjadi senjata utama masyarakat. Kemampuan untuk memilah, memahami, dan mengevaluasi informasi sangat penting agar opini publik yang terbentuk benar-benar berdasar pada fakta, bukan semata emosi atau propaganda. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan media itu sendiri harus turut aktif dalam mengedukasi masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh manipulasi informasi.
Akhirnya, membangun opini publik yang sehat bukan hanya tugas media, tetapi juga tanggung jawab bersama. Kolaborasi antara media yang profesional, masyarakat yang kritis, dan pemerintah yang transparan adalah kunci untuk menciptakan ruang publik yang terbuka, adil, dan rasional.
