Kenapa Kita Sering Merasa Tidak Cukup Meski Sudah Lebih dari Cukup?


Queennews.id – Di era media sosial dan arus informasi yang begitu cepat, banyak individu mulai terjebak dalam standar yang tidak realistis. Tak sedikit orang yang sebetulnya sudah diberkahi fisik yang menarik—tinggi, berkulit cerah, atau berpenampilan menarik—namun tetap merasa kurang. Mereka merasa lebih pendek dibandingkan teman-temannya, atau merasa warna kulitnya masih belum cukup cerah meski kenyataannya sudah jauh di atas rata-rata.
Fenomena ini dikenal sebagai ketidakpuasan diri, dan kerap muncul ketika seseorang terus-menerus membandingkan dirinya dengan orang lain. Rasa tidak cukup ini tumbuh bukan karena kekurangan nyata, melainkan karena persepsi yang dibentuk oleh lingkungan sosial, media, dan harapan yang tidak realistis.
Dalam psikologi, kondisi ini sering dikaitkan dengan “social comparison theory”, yaitu kecenderungan manusia untuk menilai diri sendiri berdasarkan perbandingan sosial. Ketika seseorang terus-menerus melihat ke atas—kepada mereka yang dianggap lebih sukses, lebih cantik, lebih kaya, atau lebih sempurna—maka akan muncul perasaan tidak aman, rendah diri, bahkan frustrasi.
Padahal, jika seseorang mau berhenti sejenak dan melihat ke bawah—melihat mereka yang lebih kekurangan, yang berjuang dengan keterbatasan fisik, ekonomi, atau akses pendidikan—rasa syukur bisa tumbuh. Perasaan puas dan penerimaan diri bukan datang dari seberapa banyak yang dimiliki, tetapi dari seberapa mampu kita menghargai apa yang sudah ada.

Membandingkan diri sesekali bisa menjadi motivasi untuk berkembang. Namun, jika dilakukan secara terus-menerus tanpa kendali, justru bisa menjerumuskan ke dalam lingkaran rasa tidak puas yang tak berujung. Inilah mengapa penting bagi setiap individu untuk memiliki kesadaran diri (self-awareness) dan penerimaan diri (self-acceptance).
Masyarakat modern dituntut untuk selalu tampil sempurna. Standar kecantikan dan kesuksesan kini semakin bias, seolah-olah semua orang harus memenuhi “template” tertentu untuk dianggap berharga. Namun kenyataannya, setiap orang memiliki keunikan dan kelebihannya masing-masing. Mengukur diri sendiri dengan kacamata orang lain hanya akan menutup mata terhadap potensi yang sebenarnya dimiliki.
Perlu disadari, bahwa orang yang selalu merasa dirinya kurang sejatinya sedang melupakan nikmat yang telah dimilikinya. Mereka lupa bersyukur. Padahal, syukur adalah pondasi kebahagiaan yang paling dasar. Ketika seseorang mampu mensyukuri tinggi badannya, warna kulitnya, bentuk tubuhnya, atau apapun yang melekat padanya, maka akan tumbuh rasa cukup dan damai dalam dirinya.
Melihat ke atas boleh, jika itu memacu kita untuk berkembang. Tapi jangan lupa sesekali melihat ke bawah, agar kita tidak kehilangan rasa syukur. Karena jika hanya terpaku melihat ke atas, kita akan terus merasa kurang, dan tak akan pernah benar-benar merasa cukup.
